Jumat, 01 Mei 2009

Islam di Israel Berjuang Tegakkan Eksistensi


Bicara mengenai Israel, segera terbayang konflik berkepanjangan dengan umat Muslim Palestina serta pertikaian dengan sejumlah negara Islam di Timur Tengah.Akan tetapi, di dalam negeri Israel sendiri, sejatinya terdapat komunitas Muslim yang hidup di antara warga Yahudi. Umat Islam di Israel ini juga gencar menuntut persamaan hak.

Saat ini, warga Arab Israel mencakup 20 persen atau 1,2 juta jiwa dari populasi penduduk yang berjumlah sekitar 6,6 juta jiwa. Sekitar 85 persen dari warga Arab Israel itu adalah Muslim, selebihnya Kristen dan Arab Yahudi.Dan, sekian lama, telah muncul pertanyaan penting, bagaimana eksistensi umat Muslim di sana, kini, dan masa depan?

Gaung pertanyaan kian kencang saat terjadi pergerakan politik, sosial, dan keagamaan yang lebih intens dari komunitas Muslim. Ini diawali pada era 80-an ketika berlangsung revolusi Islam di Iran.Seiring situasi tersebut, muncul kesadaran politik dan agama pada warga Muslim di Israel. Mereka mulai berani mendirikan lembaga dan organisasi sosial kemasyarakatan.

Tak hanya itu, kesadaran sebagai bangsa Arab dan umat Islam juga tumbuh pesat. Ini lantas ditandai dengan penolakan mereka untuk mengibarkan bendera Israel, tidak berpartisipasi pada perayaan hari besar negara, dan sebagainya. Di sisi lain, rasa simpati dan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina justru kian berkembang.

Umat Muslim Israel pun menuntut Israel agar pengungsi Palestina yang berada di sejumlah negara diperkenankan kembali ke Tanah Air-nya. Tentu saja, Pemerintah Israel menolak permintaan ini lantaran khawatir bahwa dalam hitungan beberapa tahun, hal itu bisa mengikis hegemoni Israel.Adapun terhadap keberadaan warga Muslim di Israel sendiri, mereka gencar menyuarakan persamaan hak. 'Israel haruslah negara yang mencakup segenap warga,' demikian bunyi permintaan itu.

Dengan kata lain, Israel semestinya tidak diasosiasikan sebagai negara Yahudi, tapi juga negara yang dihuni warga Arab dengan hak-hak dan pengakuan setara. Mereka pun hendaknya diperkenankan memiliki sistem pendidikan dan budaya sendiri, demikian pula rumah sakit ataupun universitas.

Sungguh, hal itu merupakan perjuangan yang berat. Mengingat, penduduk Israel hanya menganggap warga Arab Israel sebagai warga negara dan bukan bagian dari bangsa Israel. Warga Arab Israel, termasuk yang beragama Islam, dinilai bukan sebagai partner dalam aspek nasional.

Karena itulah, sejak dua dekade terakhir, terbangun identitas nasional yang 'baru' bagi mereka. Sebagian besar penduduk Muslim Israel lantas mengidentifikasi diri sebagai 'Warga Palestina di Israel'. Istilah ini lebih berasosiasi pada kedekatan wilayah. Adapun hubungan dengan Israel menjadi sebatas 'teknis semata'.Sehingga, kondisi ini setidaknya bisa menjelaskan mengapa warga Muslim tidak bergabung dalam Israel Defence Force (IDF) ketika banyak warga minoritas yang ikut serta?

Meski begitu, mereka masih bisa aktif di bidang lain. Ini disebabkan warga Muslim sebagai warga negara yang memperoleh hak sipil, seperti memberikan suara pada pemilu lokal dan nasional, punya perwakilan di Knesset (parlemen), pendidikan gratis di tingkat sekolah dasar dan menengah, kebebasan berserikat dan berpendapat, serta penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa mereka.

Tapi, bagaimana dalam keseharian? Tetap saja warga Muslim termarjinalkan. Pada bidang ekonomi, mereka lebih banyak merupakan warga miskin, sedikit mendapat peluang bekerja di kantor pemerintahan dan swasta, diberikan standar penilaian tes yang berbeda di sekolah, dan sebagainya.

Tapi, mereka masih punya kesempatan, terutama lewat wakilnya di parlemen, mereka berusaha mewujudkan masa depan yang lebih cerah. Ini terlihat ketika berlangsung pemilu beberapa waktu lalu. Pada saat itu, sejumlah partai Arab bersatu menghadapi partai sayap kanan yang bersikap anti-Arab.

Warga Muslim pun memberikan dukungan penuh kepada Dr Ahmad Tibi, anggota Knesset (parlemen Israel) dan pemimpin gerakan orang Arab bagi perubahan di Israel, yang telah banyak berjuang bagi perubahan nasib warga minoritas.Ia, misalnya, berperan meloloskan produk legislatif bagi pembangunan wilayah permukiman Arab di Israel yang sebagian besar miskin. Karena itu, peran Dr Tibi untuk mengangkat derajat warganya kembali diharapkan.

Tingkat kelahiran tertinggi
Keberadaan warga Muslim di Israel tak terlepas dari konflik yang berlangsung di Palestina tahun 1948. Usai deklarasi pembentukan negara Israel, orang-orang Yahudi mencaplok sebagian besar wilayah Palestina.Berdasarkan mandat Inggris, wilayah itu akhirnya terbagi tiga: wilayah Israel, kawasan Tepi Barat yang dikuasai Yordania, serta Jalur Gaza (Mesir). Akibat perang Arab-Israel, negara Yahudi itu merampas lebih banyak wilayah kediaman warga Arab Palestina.

Orang-orang Arab Palestina sudah menetap di sana sejak lama sejak Khalifah Umar bin Khatab RA menaklukkan Yerusalem tahun 637 M. Mereka datang dari berbagai negara, seperti Persia, Yaman, Mesir, dan banyak lagi.Di kawasan yang lantas diduduki Israel, terdapat sekitar 950 ribu warga Arab Palestina. Kemudian, sekitar 80 persennya memilih mengungsi karena intimidasi dan tinggal menyisakan 156 ribu jiwa.

Inilah cikal bakal warga Arab di Israel. Sebagian lagi adalah yang berasal dari Tepi Barat dan Jalur Gaza yang memperoleh kewarganegaraan Israel berdasarkan aturan unifikasi keluarga sehingga kian menambah jumlah mereka.Pertambahan itu masih berlangsung hingga kini. Warga Muslim di Israel tercatat memiliki tingkat kelahiran yang tinggi. Rata-rata per tahun, satu dari empat kelahiran bayi, adalah Muslim.

Kontan, ini memicu kekhawatiran di Israel bahwa dalam beberapa tahun ke depan, jumlah orang Yahudi bisa tersalip. Diperkirakan, jumlah warga Muslim bisa mencapai 2 juta jiwa atau 24-26 persen dari populasi dalam kurun 15 tahun. Warga Israel kemudian mengistilahkan 'bom waktu demografi' terhadap fenomena tersebut.

Sementara itu, secara demografi, sebanyak 52 persen warga Muslim tinggal di Kota Yerusalem. Adapun sisanya tersebar di 11 wilayah lain di Israel. Totalnya, ada sekitar 112 kawasan komunitas Arab dan Muslim yang 89 persennya mencakup lebih dari 2.000 jiwa.

Nazareth dikenal sebagai kota yang juga banyak dihuni warga Arab atau sekitar 65 ribu jiwa dengan 40 ribu-nya adalah Muslim. Sementara itu, kota warga Muslim adalah di Umm al Fahm dengan lebih dari 43 ribu Muslim, diikuti Kota Baqa Jatt dan Carmel City. yus/berbagai sumber


Perjuangan di Knesset (Parlemen)

Aryeh Eldad, seorang anggota Knesset (parlemen Israel), menganggapnya sebagai musuh. Sedangkan, yang lain menjulukinya sebagai 'sang pengkhianat'. Dialah Dr Ahmed Tibi, figur yang sedang menyita perhatian di kancah politik negara Zionis itu. Perjuangan tak kenal lelahnya di Knesset--demi memperjuangkan hak-hak warga Arab dan Muslim di sana--membuatnya menjadi figur favorit media massa setempat untuk dimintakan pendapatnya.

Seolah tak peduli dengan segala cap negatif dari para koleganya, dia terus melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya. Dia ditunjuk sebagai juru bicara Knesset, tapi tetap memasang foto mantan pemimpin Palestina Yasser Arafat bersandingan dengan bendera PLO di dinding kantornya.

Mengutip situs IsraelNN.com, Dr Tibi (yang bernama lengkap Ahmed al-Tibi) terlahir di Taibe, kota berpenduduk mayoritas Arab di Israel tengah, pada tahun 1958. Ketika itu, wilayah ini masih berupa kawasan konsentrasi warga Arab di bawah pengawasan militer Israel usai perang tahun 1948.Tibi tercatat menempuh pendidikan kedokteran di Hebrew, Universitas Yerusalem. ''Saya merampungkan studi secara terhormat di tahun 1983 dengan menempati peringkat pertama di kelas,'' katanya.

Setahun kemudian, dia bekerja di bagian ginekologi di Hadassah Har Hatzofin, Yerusalem. Di tahun itu pula, Tibi pertama kali bertemu Yasser Arafat di Tunis. Kala itu, pemimpin PLO ini sedang diasingkan dari Lebanon usai Perang Lebanon pertama sehingga bertemu Arafat bisa dianggap pelanggaran hukum oleh Israel.

Beberapa saat setelah dipecat dari Hadassah, Tibi menekuni bidang politik. Dirinya menjadi sosok penting yang menjembatani hubungan antara organisasi sayap kiri Israel dan PLO.Tahun 1993, Arafat menunjuknya sebagai penasihat khusus untuk proses perdamaian dan masalah-masalah Israel. ''Saya pun langsung mengatur pertemuan antara Yasser Arafat dan Yitzchak Rabin,'' ujarnya lagi.

Pada tahun 1995, Tibi membentuk partai Arab, Ta'al. Di tahun 1999, dia terpilih menjadi anggota Knesset. 'Perjuangan' pun dimulai.Bersama sejumlah anggota parlemen dari unsur warga Arab, Dr Tibi gencar menyuarakan aspirasi warga minoritas Arab (termasuk Muslim) yang kerap diperlakukan tidak adil dan tidak menikmati pelbagai kemudahan yang diterima orang Yahudi. Dia, misalnya, pernah mendesak agar digelar penyelidikan terhadap polisi yang bertindak brutal terhadap warga Arab.

Pun, terhadap perjuangan bangsa Palestina, dia tidak mengendurkan dukungan. Pada 11 Januari 2007, Tibi berpartisipasi dalam perayaan 42 tahun berdirinya organisasi Fatah di Ramallah. Dalam kesempatan itu, dia berseru agar Fatah meneruskan perlawanan terhadap Israel 'hingga seluruh tanah Palestina dikuasai kembali'.

Menurut Dr Luthfi asy-Syaukanie, dosen Universitas Paramadina Mulya, Jakarta,, cita-cita berdirinya dua negara, Israel dan Palestina, di wilayah itu memang menjadi kekhawatiran terbesar Israel.''Mereka takut menjadi minoritas karena bakal kalah jumlah dengan warga Arab Palestina,'' kata Luthfi yang pernah berkunjung ke Israel, Desember tahun lalu.Akan tetapi, lanjutnya, sejumlah pihak di sana mulai membuka kemungkinan dan menerima adanya dua negara tersebut. Kini, proses ke arah itu masih terus dilakukan.yus/kem


Data Warga Arab di Israel

Jumlah : 1.144.000 jiwa (20 persen populasi)
Persebaran : 270 ribu jiwa tinggal di Yerusalem timur dan Dataran Tinggi Golan (2006)
Bahasa : Arab dan Hebrew (Hebron)
Agama : Islam (85 persen), Kristen (8,5 persen), dan Druze (8,3 persen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar