Kamis, 13 Agustus 2009

LIBYA: PESONA AFRIKA UTARA‎


LIBYA: PESONA AFRIKA UTARA‎
Oleh Nandang Nursaleh

Kendati matahari sangat terang, hari ini udara Libya cukup sejuk. Suhu rata-‎rata di bulan Juni antara 16 s.d. 29 derajat Celcius. Namun bisa mencapai di bawah 4 ‎derajat Celsius dimusim dingin atau di atas 40 derajat Celcius di musim panas. ‎Aziziya, satu daerah di Libya pernah mencapai record terpanas di dunia dengan suhu ‎‎57,8 derajat Celsius pada tahun 1922. Meski demikian, setiap minggu suhu udara ‎Libya selalu berubah-ubah. Misalnya, pada puncak musim panas di bulan Agustus, ‎rata-rata setiap tiga hari suhu Libya mesti berubah menjadi sejuk dan begitu pula ‎sebaliknya. Perubahan ini dipengaruhi oleh angin Sahara yang panas dan angin ‎daratan Eropa yang dingin. ‎
Oleh karena itu, pelesiran di Libya akan nyaman jika dilakukan pada musim ‎semi atau musim gugur, yaitu antara bulan April-Juni atau September-November. ‎Suhu udara pada bulan-bulan tersebut relatif stabil sehingga tidak cepat lelah. Udara ‎yang sejuk di musim semi atau gugur akan terasa nyaman dalam menjelajahi ‎tempat-tempat bersejarah di Libya atau sekadar duduk santai di taman-taman kota ‎Tripoli yang terletak di bibir pantai laut Mediterania. ‎

Sepintas tentang Libya
Istilah Libya awalnya digunakan sebagai penisbatan bagi penduduk yang ‎mendiami sebelah barat sungai Nil. Suku Libo atau Levu, demikian mereka dikenal ‎ribuan tahun yang lalu. Terkadang orang-orang Yunani kuno menyebut Libya untuk ‎seluruh daratan Afrika utara sebelah barat Mesir atau bahkan lebih luas untuk ‎menyebut seluruh benua Afrika.‎
Libya modern merupakan negara ke-4 terluas di benua Afrika dengan bahasa ‎Arab sebagai bahasa resminya. Negara luas dan kaya minyak ini hanya didiami oleh ‎sekitar 6,17 juta penduduk saja (thn 2008), sehingga GDP nya mencapai US $ 16,144 ‎perkapita atau tertinggi ke-2 di benua Afrika setelah Negara Guinea Khatulistiwa. ‎
Negara yang berbatasan dengan Laut Tengah di utara, Mesir di timur, Sudan ‎di tenggara, Chad dan Niger di selatan serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat; ‎bagi sebagian orang Indonesia mungkin terdengar sangar. Maklum saja ‎pemimpinnya, Muammar Qaddafi, sering kali diberitakan kontroversial dalam ‎percaturan politik global bahkan pernah dicap sebagai gembong teroris oleh Barat, ‎sehingga mengakibatkan negaranya diembargo selama 15 tahun dan baru bebas ‎pada tahun 2003. Namun demikian, saat ini Qaddafi dipercaya sebagai Presiden Uni ‎Afrika.‎
Tapi lain di luar lain di dalam, sesungguhnya selain negerinya aman, ‎masyarakat Libya juga ramah-ramah. Di ibukotanya Tripoli yang asri, tak nampak ‎ada gelandangan dan pengemis atau kriminalitas yang berarti, apalagi terorisme. ‎Hampir setiap sore sampai larut malam, lebih-lebih dimusim panas, yang nampak ‎hanyalah kerumunan orang bersama keluarganya yang duduk santai di rumput yang ‎hijau atau di kursi-kursi yang tersedia di taman-taman kota sambil menikmati ‎makanan kecil yang mereka bawa dari rumahnya. Dari alun-alun utama kota, kita ‎dapat menikmati pemandangan kapal-kapal besar yang keluar masuk dan berlabuh ‎di pelabuhan Tripoli. Memang nikmat menghirup udara sore dan memandang lepas ‎ke laut mediterania sambil mengintip sang mentari tenggelam di ufuk barat. Apalagi ‎akan lebih nikmat jika ditemani secangkir Cappucino ala Italia atau sambil ‎menghisap Sisha ala timur tengah yang tersedia di kios-kios sepanjang boulevard ‎pantai dan alun-alun kota.‎

Tripoli: Tiga Kota Peninggalan Romawi
Orang Arab menyebut ibukota Libya ini dengan nama Tarabulus al-Garb ‎‎(Tripoli barat) untuk membedakan dengan kota Tripoli yang ada di Libanon. Tripoli ‎sendiri memiliki arti tiga kota, yang berada pada masa silam yaitu Oea, Lubdah atau ‎Leptis Magna, dan Sabratha. Oea terletak di tengah-tengah antara Sabratha di barat ‎dan Leptis Magna di timur. Letak ketiga kota ini berjauhan tapi semuanya berada di ‎pinggir pantai laut Mediterania. Oea kini berganti nama menjadi Tripoli dan ‎berevolusi jadi kota modern, sementara Sabratha dan Leptis Magna hanya ‎mewariskan reruntuhan dan puing-puing yang menjadi saksi bisu keperkasaan ‎peradaban manusia di masa lampau. ‎
Menelusuri sudut-sudut kota Tripoli, membawa khayal kita kembali ke masa ‎silam. Bertolak dari alun-alun kota yang hijau dan dipenuhi beberapa jenis pohon ‎Kurma, kita dapat berjalan ke arah barat menelusuri lorong-lorong kota tua yang di ‎kelilingi benteng pertahanan peninggalan imperium Ottoman (KhilafahTurki Usmani) ‎yang masih berdiri kokoh. ‎
Tripoli di masa lalu merupakan kota pelabuhan yang sangat strategis. ‎Didirikan pada abad ke-7 SM oleh bangsa Phunisia, kemudian direbut oleh Romawi ‎pada pertengahan abad ke-2 SM, ditaklukan oleh Islam pada masa Khalifah Umar ‎bin Khattab pada abad 7 M, dan akhirnya dikuasai oleh kekhilafahan Ottoman pada ‎abad 16 M. Oleh karena itu, saat ini benteng tersebut dikenal pula dengan nama ‎benteng Turki. ‎
Perjalanan memasuki benteng ini bisa melalui tiga gerbang. Di sebelah barat ‎dinamakan gerbang Zenata, di utara disebut Bab al-Bahr, dan di tenggara dikenal ‎dengan gerbang Zewara. Di dalamnya, selain terdapat pemukiman penduduk, juga ‎ada Puri As-Saraya al-Hamra (Istana Merah), museum, masjid Gurji dengan ‎ornamen yang sangat indah, menara mercusuar, sanggar kerajian tradisional, dan ‎komplek pertokoan tua yang menjual berbagai perhiasan, handycraft, barang-‎barang antik, juga berbagai keperluan sehari-hari. Benteng ini merupakan tujuan ‎utama kunjungan para wisatawan ke kota Tripoli. ‎
Masuk dari gerbang Zewara, kita dapat menemui beberapa orang pemuda ‎menawarkan penukaran mata uang asing kepada Dinar Libya. Maklum saja, bagi ‎yang hobi belanja, di kiri kanan jalan yang akan kita lalui penuh dengan pertokoan ‎yang menjual perhiasan dan barang kerajinan. Mulai dari emas, perak, batu mulia, ‎kerajinan dari metal dan kulit, karpet, pakaian khas Libya, dan sebagainya. Bahkan, ‎gading gajah dan kulit harimau yang masih utuh pun nampak dijual.‎
Masih di dalam benteng, selesai melewati pertokoan tradisional zaman abad ‎pertengahan, kita dapat terus menelusuri lorong-lorong bangunan tua ke arah utara. ‎Setelah keluar dari gerbang Bab al-Bahr, kita dapat menjumpai bangunan kuno yang ‎dikenal dengan gapura Marcus Aurelius yang dibangun pada abad ke 2 M. Gapura ‎ini dibangun untuk memperingati jasa-jasanya sebagai Kaisar Romawi dari tahun ‎‎161 -180 M. Dari gapura ini pula pemandangan hiruk pikuk pelabuhan Tripoli ‎nampak jelas karena jaraknya hanya dipisahkan oleh boulevard (jalan raya ‎sepanjang pantai). Lelah dan peluh setelah berjalan di gang-gang kota tua, dapat ‎hilang oleh pemandangan luas dan sejuknya angin sepoi-sepoi yang berhembus dari ‎laut Mediterania.‎
Setelah istirahat sejenak, kita dapat meneruskan kembali perjalanan ‎menelusuri komplek kota tua. Dari gapura Marcus kita dapat terus berjalan ke arah ‎barat menelusuri pinggiran benteng sampai menjumpai gerbang Zenata. Dari sini ‎nampak gedung-gedung modern menjulang tinggi, suatu pemandangan kontras ‎dengan kota tua yang jaraknya hanya dipisahkan oleh jalan raya. Di situlah kawasan ‎bisnis Tripoli berada. ‎

Jakarta, Bandung, dan Jawa di Tripoli
Arah tenggara dari benteng Turki adalah lapangan Medan Syuhada (Martyrs ‎Square). Di sisi baratnya terdapat panggung tempat Muammar Qaddafi ‎menyampaikan orasi kepada rakyatnya atau memimpin protes-protes kepada Barat ‎dan Amerika atas ketidakadilan dunia. Lapangan ini juga merupakan muara dari ‎delapan jalan raya utama yang datang dari berbagai arah. Kiri kanan jalan-jalan ‎tersebut dipenuhi oleh bangunan-bangunan tua berarsitektur ala Italia. Libya yang ‎bekas jajahan Italia memiliki banyak gedung peninggalan sejarah yang cukup ‎terawat dan dibiarkan seperti bentuk aslinya. Gedung-gedung tersebut saat ini ‎kebanyakan digunakan sebagai kantor pemerintah, pertokoan, atau tempat tinggal. ‎Misalnya, jika kita berjalan dari Medan Syuhada ke arah timur, di kiri kanan ‎sepanjang jalan Omar Muhtar terdapat bangunan kokoh peninggalan Italia yang ‎digunakan sebagai bank, kantor kepolisian, restoran, dan pertokoan. Bahkan sebuah ‎bangunan gereja masih berdiri kokoh dan terawat hanya saja telah beralih fungsi ‎menjadi gedung olah raga.‎
Perjalanan menelusuri gedung-gedung antik dapat pula melalui tujuh jalan ‎lainnya yang bermuara di Medan Syuhada. Mengayunkan kaki ke arah tenggara di ‎trotoar jalan Awwal September akan terasa nyaman, selain bersih, juga rindang oleh ‎pohon-pohon sejenis beringin. Kiri-kanan jalan ini didominasi oleh toko-toko fashion ‎merk Italia atau Perancis yang terkenal, juga restoran khas Turki, Italia, Mesir, atau ‎Libya sendiri. Pada perempatan pertama, beberapa meter ke arah kiri, kita akan ‎terkagum-kagum melihat bangunan perkasa sebuah masjid yang mirip gereja. Inilah ‎masjid raya Jamal Abdul Nasr yang asalnya memang merupakan sebuah gereja ‎katedral peninggalan penjajah Italia. Persis di samping kanan masjid ini terdapat ‎plang nama jalan raya dalam tulisan Arab yang diberi nama jalan Bandung dan jalan ‎di sebelahnya lagi di beri nama jalan Jakarta. Selain itu, beberapa meter ke arah ‎barat daya dari masjid ini, persis di belakang Funduq al-Kabir (Grand Hotel), ‎terdapat sebuah jalan yang diberi nama jalan Jawa. Mungkin pemerintah Libya ‎sengaja mengabadikan nama-nama tersebut untuk mengenang penyelenggaraan ‎Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. ‎ Perasaan bangga sempat singgah ‎dalam hati, begitu perhatiannya bangsa Libya terhadap Indonesia, Setidaknya, itulah ‎yang terbersit dalam pikiran penulis. Entahlah, tapi faktanya memang orang-orang ‎Libya sangat respect kalau kita mengaku datang dari Indonesia. "Andunesia miah-‎miah !", demikian kata mereka. "Indonesia 100 % bagus", kurang lebih begitulah ‎artinya.‎
Jika lelah setelah jalan cukup jauh, kita dapat istirahat di sebuah ruwaq yang ‎berhadapan langsung dengan masjid raya tersebut. Ruwaq adalah semacam koridor ‎atau ruang lobi yang atapnya menghubungkan dua gedung yang berbeda. Di ruwaq ‎ini disediakan berbagai makanan atau minuman. Mulai dari Swarma (Roti berisi ‎daging ayam), Kebab (roti gulung berisi daging), Sandwich, Cappucino, softdrink, ‎bahkan sisha. Tentu saja dengan harga sangat terjangkau. ‎

Leptis Magna
Perjalanan menelusuri jejak sejarah di Libya masih belum tamat. Kurang ‎lebih 100 km ke arah timur kota Tripoli, puing-puing bangunan menjadi saksi jejak ‎peradaban manusia masa lalu. Lubdah al-Kubra, demikian orang Libya menyebutnya, ‎atau sejarawan dunia mengenalnya dengan nama Leptis Magna. Adalah sebuah kota ‎penting pada zamannya yang menyaingi dua metropolis lainnya di Afrika utara, ‎Carthago (di Tunisia) dan Aleksandria (di Mesir). Pendirian kota Leptis dirintis oleh ‎bangsa Phunisia dari Sidon (nama daerah di Libanon) pada awal abad 7 SM, dan ‎ditaklukan oleh Romawi pada abad 2 SM. Berabad-abad, Leptis Magna telah ‎menjadi trans-perdagangan antara kawasan Sahara dengan kawasan Mediterania. ‎Kejayaan Leptis Magna sebagai metropolis mencapai puncaknya ketika Septimus ‎Severus yang asli berasal dari Leptis Magna menjadi Kaisar Romawi pada tahun 119 ‎s.d. 211 M. Pada masanya wilayah ini dinaikkan statusnya menjadi provinsi otonom ‎Tripolitania.‎
Berada di kawasan puing-puing Leptis magna, kita akan berdecak kagum ‎membayangkan betapa manusia zaman dahulu begitu perkasa dan jaya membangun ‎sebuah kota. Betapa tidak, selain bahan material bangunan yang terbuat dari batu ‎pualam yang dalam beberapa bagian penuh dengan ukiran, juga karena Leptis ‎Magna merupakan bekas sebuah kota kuno dengan tata kota yang telah sangat ‎diperhitungkan dengan matang, tak kalah sekalipun dibandingkan dengan tata kota ‎modern saat ini. Gedung pemerintah, pasar, tempat ibadat, sekolah, tempat hiburan, ‎taman, MCK umum, pelabuhan, gedung olah raga, pemukiman, bahkan drainase ‎ditata begitu apik.‎
Memasuki komplek Leptis Magna dimulai dari gerbang Septimius Severus. ‎Gerbang ini berupa gapura kokoh yang terbuat dari batu pualam yang penuh ukiran. ‎Tak jauh dari gapura, terdapat reruntuhan bangunan tempat orang-orang Leptis ‎Magna dahulu belajar. Mereka memiliki study club yang bernama Schola. Istilah ‎tersebut saat ini kemudian bergeser maknanya menjadi tempat belajar; school ‎dalam bahasa Inggris atau sekolah di negeri kita.Tak jauh dari sini, ke arah kanan ‎terdapat reruntuhan gedung bekas komplek pemandian yang dinamakan Hadrianic ‎Bath. Di dalamnya terdapat kolam, ruang toilet, ruang sauna sekaligus ruang proses ‎pemanas air untuk dialirkan ke ruang sauna tersebut. Sungguh begitu tinggi ‎teknologi mereka pada zamannya.‎
Dari gapura tadi, terdapat jalan lurus tembus ke laut Mediterania sehingga ‎komplek Leptis Magna terbagi dua blok, barat dan timur. Di Blok timur terdapat ‎puing-puing bekas bangunan penting, seperti gedung parlemen, pengadilan, kuil, ‎amphitheatre, komplek pelabuhan, dan stadion olahraga/gladiator. Di blok ini juga ‎terdapat gedung terbesar di Leptis Magna yang dinamakan dengan Severan Forum. ‎Luasnya 160 X 69 m yang didedikasikan Kaisar Romawi Caracalla (212-217 M) untuk ‎memperingati 5 tahun kematian ayahnya Septimus Severus. ‎
Sementara di blok barat merupakan blok pemukiman, gedung theater, pasar, ‎dan taman. Bekas bangunan yang agak relatif utuh adalah amphitheater (stadion ‎yang tempat duduknya curam) di blok timur dan gedung theater di blok barat. ‎ Gedung-gedung yang berada di bibir pantai termasuk bangunan-bangunan ‎pelabuhan, saat ini sudah tergerus selama ribuan tahun oleh abrasi. Begitu pula ‎sebagian besar reruntuhan sudah tertimbun oleh pasir yang hijrah dibawa angin dari ‎Sahara.‎

Sabratha
Kota ketiga dari provinsi Tripolitania adalah Sabratha. Dari Tripoli, kota ini ‎berjarak 65 km atau dapat ditempuh selama 45 menit dengan menggunakan jalur ‎thariq sari' (highway) menuju arah Tunisia. Selama perjalanan, kita dapat menikmati ‎pemandangan perkebunan Zaitun, Tin, Kurma, Jeruk, Peach, Anggur, dan aneka ‎komoditas pertanian lainnya.‎
Kota Sabratha didirikan oleh bangsa Phunisia sebagai kota pelabuhan pada ‎abad ke-6 SM, lebih dahulu dibanding kota Leptis Magna. Kemudian dikuasai oleh ‎pemerintah Massinissa, sebuah kerajaan Berber yang menguasai wilayah Numidia ‎‎(sekarang: Aljazair dan Tunisia). Pada abad ke-2 M, kota Sabratha dikuasai oleh ‎kekaisaran Romawi dan disatukan dengan dua kota lainnya, Oea dan Leptis Magna ‎dalam satu provinsi Tripolitania. Pada abad ke-4 (tahun 365 M), tiga kota ini luluh ‎lantak oleh gempa tsunami yang diperkirakan mencapai 8 skala richter. Pada abad ‎ke-7 tepatnya zaman Khalifah Umar ibn Khattab (634 - 644 M), wilayah ini ditaklukan ‎oleh Gubernur Mesir, Amr bin Ash dan menjadi wilayah kekuasaan kekhalifahan ‎Islam.‎
Jika melihat luasnya, area Sabratha lebih kecil dibanding dengan luas Leptis ‎Magna. Bagitu pula fasilitas-fasilitas gedung tidak selengkap di Leptis Magna bahkan ‎sebagian besar hampir rata dengan tanah, kecuali gedung theater yang walaupun ‎lebih kecil dibanding yang ada di Leptis, namun relatif masih utuh; bahkan hingga ‎saat ini, masih sering digunakan sebagai arena pertunjukan seni dan budaya baik ‎nasional maupun internasional.‎
Di sebelah barat gedung theater, terdapat sebuah monumen menjulang ‎tinggi dengan tiga patung singa yang berada di tiga sudut yang menghadap ke ‎berbagai arah. Di bawah monumen ini terdapat kuburan orang-orang Phunisia yang ‎ditaklukan oleh bangsa Romawi. Monumen ini sengaja didirikan sebagai penghinaan ‎terhadap bangsa yang kalah perang pada zamannya sesuai dengan tradisi Romawi.‎
Di bagian utara dari monumen ini terdapat dua bangunan bekas kuil yaitu ‎Kuil Hercules (manusia setengah dewa anak Zeus) dan Kuil Dewi Isis (Dewa terbesar ‎bangsa Mesir Kuno). Masyarakat di wilayah Romawi pada masa itu termasuk ‎kawasan Tripolitania, memang merupakan mayoritas kaum pagan dan menganut ‎politeisme, yang kemudian berasimilasi dengan ajaran Nasrani dan menjadi agama ‎resmi Negara. ‎
Tempat-tempat wisata sejarah di Libya sebenarnya masih banyak, baik itu ‎peninggalan Romawi maupun Islam. Selain di wilayah Tripolitania, tempat-tempat ‎bersejarah juga dapat ditemukan di wilayah Cyreneica dan Fezzan yang masing-‎masing berada di kawasan timur dan barat daya Libya. Di Cyreneica kita dapat ‎menyaksikan hal serupa dengan yang ada di Tripolitania, yaitu reruntuhan bangunan ‎bekas kota peninggalan Romawi. Bahkan di wilayah ini terdapat lima kota kembar ‎yang terkenal pada masanya dengan nama Pentapolis yang terdiri atas kota ‎Apollonia, Barce atau Ptolemais, Taucheira, Euesperides atau Berenice (sekarang: ‎Benghazi), dan Cyrene sebagai ibukota. Nama Cyrene juga beberapa kali disebutkan ‎dalam kitab Bible, yang merupakan asal kota Simon yang menolong Yesus ketika di ‎salib.‎
Sementara di kawasan Fezzan kita masih dapat menyaksikan kota tua suku ‎Berber/ Tuareg (Arab: Thowariq) yang dikenal dengan kota Ghadamis. Tak jauh dari ‎kota ini, kita dapat mengunjungi danau/oase yang berada di tengah-tengah gurun ‎Sahara yang tampak tak berujung. Sejauh mata memandang, hanyalah bukit-bukit ‎pasir halus yang sewaktu-waktu berpindah terhempas oleh angin gurun.‎
Selain oase atau danau alami, di Libya juga terdapat setidaknya sembilan ‎danau buatan yang luasnya mencapai ratusan hektar di tengah gurun yang gersang. ‎Airnya dipancarkan dari dalam tanah semacam artesis. Dari danau-danau ini, air ‎dialirkan ke berbagai wilayah melalui pipa-pipa raksasa yang berukuran hingga ‎berdiameter 6 m. Hasilnya gurun yang gersang mulai hijau. Inilah megaprojek yang ‎menjadi kebanggaan Libya, sehingga Qaddafi terkenal dengan julukan The Great ‎Man-Made River, pembuat sungai buatan terbesar.‎

Wisata Kuliner
Di Libya, selain wisata sejarah, kita juga dapat melakukan wisata kuliner. ‎Yang paling terkenal dan tradisional adalah Bordem. Di beberapa restoran khas ‎Libya, Bordem dapat dijumpai dengan mudah. Jika penasaran, kita dapat ‎menyaksikan proses memasak Bordem di perkampungan Libya. Bahan masakan ‎Bordem terbuat dari daging ayam atau kambing. Cara masaknya sederhana, setelah ‎diberi bumbu tradisional, potongan-potongan daging ayam atau kambing ‎dimasukkan ke dalam sebuah bejana besar yang terbuat dari besi atau alumunium. ‎Setelah ditutup rapat, kemudian bejana tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanah ‎yang telah digali dan ditimbun dengan bara menyala dan pasir. Setelah enam jam ‎bejana tersebut dibakar, Bordem siap diangkat dan dihidangkan. Rasanya..ehm.. ‎enak, selain empuk, lemak yang ada dalam daging menjadi terpisah dan mengendap ‎di dasar bejana, sehingga tak berbahaya bagi yang punya kolesterol. Bordem ‎biasanya dimakan sebagai lauk dengan Kuskusi, yaitu makanan khas seperti nasi ‎berwarna kuning yang terbuat dari biji gandum.‎

Masyarakat Indonesia di Libya
Warga Negara Indonesia yang tinggal di Libya tidak terlalu banyak, ‎jumlahnya hanya sekitar 800-an orang selama 2 tahun terakhir dan tersebar di ‎berbagai kota di Libya. Mereka rata-rata bekerja di perusahaan-perusahaan ‎minyak, konstruksi, atau industri; selain juga terdapat sejumlah TKW. ‎
Ada juga mahasiswa yang belajar di kampus Kuliah Dakwah Islamiyah Tripoli ‎yang jumlahnya mencapai 130 orang dengan berbagai strata, mulai S1 sampai ‎dengan S3, dan mendapat beasiswa dari World Islamic Call Society (WICS), sebuah ‎organisasi dakwah milik Libya.‎
WNI yang tinggal di Libya biasanya berkumpul secara rutin di Kedutaan Besar ‎RI di Tripoli paling tidak seminggu sekali. Mereka melaksanakan shalat jumat dan ‎menikmati hidangan masakan ala Indonesia yang tak mungkin ditemui di restoran-‎restoran di seantero Libya. Hal ini setidaknya dapat mengobati kerinduan kepada ‎tanah air.‎

Tripoli, 10 Agustus 2009‎
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Arab Unpad Bandung dan mahasiswa ‎Pascasarjana Arabic Studies IICC Tripoli - Libya.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar