LIBYA: PESONA AFRIKA UTARA
Oleh Nandang Nursaleh
Kendati matahari sangat terang, hari ini udara Libya cukup sejuk. Suhu rata-rata di bulan Juni antara 16 s.d. 29 derajat Celcius. Namun bisa mencapai di bawah 4 derajat Celsius dimusim dingin atau di atas 40 derajat Celcius di musim panas. Aziziya, satu daerah di Libya pernah mencapai record terpanas di dunia dengan suhu 57,8 derajat Celsius pada tahun 1922. Meski demikian, setiap minggu suhu udara Libya selalu berubah-ubah. Misalnya, pada puncak musim panas di bulan Agustus, rata-rata setiap tiga hari suhu Libya mesti berubah menjadi sejuk dan begitu pula sebaliknya. Perubahan ini dipengaruhi oleh angin Sahara yang panas dan angin daratan Eropa yang dingin.
Oleh karena itu, pelesiran di Libya akan nyaman jika dilakukan pada musim semi atau musim gugur, yaitu antara bulan April-Juni atau September-November. Suhu udara pada bulan-bulan tersebut relatif stabil sehingga tidak cepat lelah. Udara yang sejuk di musim semi atau gugur akan terasa nyaman dalam menjelajahi tempat-tempat bersejarah di Libya atau sekadar duduk santai di taman-taman kota Tripoli yang terletak di bibir pantai laut Mediterania.
Sepintas tentang Libya
Istilah Libya awalnya digunakan sebagai penisbatan bagi penduduk yang mendiami sebelah barat sungai Nil. Suku Libo atau Levu, demikian mereka dikenal ribuan tahun yang lalu. Terkadang orang-orang Yunani kuno menyebut Libya untuk seluruh daratan Afrika utara sebelah barat Mesir atau bahkan lebih luas untuk menyebut seluruh benua Afrika.
Libya modern merupakan negara ke-4 terluas di benua Afrika dengan bahasa Arab sebagai bahasa resminya. Negara luas dan kaya minyak ini hanya didiami oleh sekitar 6,17 juta penduduk saja (thn 2008), sehingga GDP nya mencapai US $ 16,144 perkapita atau tertinggi ke-2 di benua Afrika setelah Negara Guinea Khatulistiwa.
Negara yang berbatasan dengan Laut Tengah di utara, Mesir di timur, Sudan di tenggara, Chad dan Niger di selatan serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat; bagi sebagian orang Indonesia mungkin terdengar sangar. Maklum saja pemimpinnya, Muammar Qaddafi, sering kali diberitakan kontroversial dalam percaturan politik global bahkan pernah dicap sebagai gembong teroris oleh Barat, sehingga mengakibatkan negaranya diembargo selama 15 tahun dan baru bebas pada tahun 2003. Namun demikian, saat ini Qaddafi dipercaya sebagai Presiden Uni Afrika.
Tapi lain di luar lain di dalam, sesungguhnya selain negerinya aman, masyarakat Libya juga ramah-ramah. Di ibukotanya Tripoli yang asri, tak nampak ada gelandangan dan pengemis atau kriminalitas yang berarti, apalagi terorisme. Hampir setiap sore sampai larut malam, lebih-lebih dimusim panas, yang nampak hanyalah kerumunan orang bersama keluarganya yang duduk santai di rumput yang hijau atau di kursi-kursi yang tersedia di taman-taman kota sambil menikmati makanan kecil yang mereka bawa dari rumahnya. Dari alun-alun utama kota, kita dapat menikmati pemandangan kapal-kapal besar yang keluar masuk dan berlabuh di pelabuhan Tripoli. Memang nikmat menghirup udara sore dan memandang lepas ke laut mediterania sambil mengintip sang mentari tenggelam di ufuk barat. Apalagi akan lebih nikmat jika ditemani secangkir Cappucino ala Italia atau sambil menghisap Sisha ala timur tengah yang tersedia di kios-kios sepanjang boulevard pantai dan alun-alun kota.
Tripoli: Tiga Kota Peninggalan Romawi
Orang Arab menyebut ibukota Libya ini dengan nama Tarabulus al-Garb (Tripoli barat) untuk membedakan dengan kota Tripoli yang ada di Libanon. Tripoli sendiri memiliki arti tiga kota, yang berada pada masa silam yaitu Oea, Lubdah atau Leptis Magna, dan Sabratha. Oea terletak di tengah-tengah antara Sabratha di barat dan Leptis Magna di timur. Letak ketiga kota ini berjauhan tapi semuanya berada di pinggir pantai laut Mediterania. Oea kini berganti nama menjadi Tripoli dan berevolusi jadi kota modern, sementara Sabratha dan Leptis Magna hanya mewariskan reruntuhan dan puing-puing yang menjadi saksi bisu keperkasaan peradaban manusia di masa lampau.
Menelusuri sudut-sudut kota Tripoli, membawa khayal kita kembali ke masa silam. Bertolak dari alun-alun kota yang hijau dan dipenuhi beberapa jenis pohon Kurma, kita dapat berjalan ke arah barat menelusuri lorong-lorong kota tua yang di kelilingi benteng pertahanan peninggalan imperium Ottoman (KhilafahTurki Usmani) yang masih berdiri kokoh.
Tripoli di masa lalu merupakan kota pelabuhan yang sangat strategis. Didirikan pada abad ke-7 SM oleh bangsa Phunisia, kemudian direbut oleh Romawi pada pertengahan abad ke-2 SM, ditaklukan oleh Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab pada abad 7 M, dan akhirnya dikuasai oleh kekhilafahan Ottoman pada abad 16 M. Oleh karena itu, saat ini benteng tersebut dikenal pula dengan nama benteng Turki.
Perjalanan memasuki benteng ini bisa melalui tiga gerbang. Di sebelah barat dinamakan gerbang Zenata, di utara disebut Bab al-Bahr, dan di tenggara dikenal dengan gerbang Zewara. Di dalamnya, selain terdapat pemukiman penduduk, juga ada Puri As-Saraya al-Hamra (Istana Merah), museum, masjid Gurji dengan ornamen yang sangat indah, menara mercusuar, sanggar kerajian tradisional, dan komplek pertokoan tua yang menjual berbagai perhiasan, handycraft, barang-barang antik, juga berbagai keperluan sehari-hari. Benteng ini merupakan tujuan utama kunjungan para wisatawan ke kota Tripoli.
Masuk dari gerbang Zewara, kita dapat menemui beberapa orang pemuda menawarkan penukaran mata uang asing kepada Dinar Libya. Maklum saja, bagi yang hobi belanja, di kiri kanan jalan yang akan kita lalui penuh dengan pertokoan yang menjual perhiasan dan barang kerajinan. Mulai dari emas, perak, batu mulia, kerajinan dari metal dan kulit, karpet, pakaian khas Libya, dan sebagainya. Bahkan, gading gajah dan kulit harimau yang masih utuh pun nampak dijual.
Masih di dalam benteng, selesai melewati pertokoan tradisional zaman abad pertengahan, kita dapat terus menelusuri lorong-lorong bangunan tua ke arah utara. Setelah keluar dari gerbang Bab al-Bahr, kita dapat menjumpai bangunan kuno yang dikenal dengan gapura Marcus Aurelius yang dibangun pada abad ke 2 M. Gapura ini dibangun untuk memperingati jasa-jasanya sebagai Kaisar Romawi dari tahun 161 -180 M. Dari gapura ini pula pemandangan hiruk pikuk pelabuhan Tripoli nampak jelas karena jaraknya hanya dipisahkan oleh boulevard (jalan raya sepanjang pantai). Lelah dan peluh setelah berjalan di gang-gang kota tua, dapat hilang oleh pemandangan luas dan sejuknya angin sepoi-sepoi yang berhembus dari laut Mediterania.
Setelah istirahat sejenak, kita dapat meneruskan kembali perjalanan menelusuri komplek kota tua. Dari gapura Marcus kita dapat terus berjalan ke arah barat menelusuri pinggiran benteng sampai menjumpai gerbang Zenata. Dari sini nampak gedung-gedung modern menjulang tinggi, suatu pemandangan kontras dengan kota tua yang jaraknya hanya dipisahkan oleh jalan raya. Di situlah kawasan bisnis Tripoli berada.
Jakarta, Bandung, dan Jawa di Tripoli
Arah tenggara dari benteng Turki adalah lapangan Medan Syuhada (Martyrs Square). Di sisi baratnya terdapat panggung tempat Muammar Qaddafi menyampaikan orasi kepada rakyatnya atau memimpin protes-protes kepada Barat dan Amerika atas ketidakadilan dunia. Lapangan ini juga merupakan muara dari delapan jalan raya utama yang datang dari berbagai arah. Kiri kanan jalan-jalan tersebut dipenuhi oleh bangunan-bangunan tua berarsitektur ala Italia. Libya yang bekas jajahan Italia memiliki banyak gedung peninggalan sejarah yang cukup terawat dan dibiarkan seperti bentuk aslinya. Gedung-gedung tersebut saat ini kebanyakan digunakan sebagai kantor pemerintah, pertokoan, atau tempat tinggal. Misalnya, jika kita berjalan dari Medan Syuhada ke arah timur, di kiri kanan sepanjang jalan Omar Muhtar terdapat bangunan kokoh peninggalan Italia yang digunakan sebagai bank, kantor kepolisian, restoran, dan pertokoan. Bahkan sebuah bangunan gereja masih berdiri kokoh dan terawat hanya saja telah beralih fungsi menjadi gedung olah raga.
Perjalanan menelusuri gedung-gedung antik dapat pula melalui tujuh jalan lainnya yang bermuara di Medan Syuhada. Mengayunkan kaki ke arah tenggara di trotoar jalan Awwal September akan terasa nyaman, selain bersih, juga rindang oleh pohon-pohon sejenis beringin. Kiri-kanan jalan ini didominasi oleh toko-toko fashion merk Italia atau Perancis yang terkenal, juga restoran khas Turki, Italia, Mesir, atau Libya sendiri. Pada perempatan pertama, beberapa meter ke arah kiri, kita akan terkagum-kagum melihat bangunan perkasa sebuah masjid yang mirip gereja. Inilah masjid raya Jamal Abdul Nasr yang asalnya memang merupakan sebuah gereja katedral peninggalan penjajah Italia. Persis di samping kanan masjid ini terdapat plang nama jalan raya dalam tulisan Arab yang diberi nama jalan Bandung dan jalan di sebelahnya lagi di beri nama jalan Jakarta. Selain itu, beberapa meter ke arah barat daya dari masjid ini, persis di belakang Funduq al-Kabir (Grand Hotel), terdapat sebuah jalan yang diberi nama jalan Jawa. Mungkin pemerintah Libya sengaja mengabadikan nama-nama tersebut untuk mengenang penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Perasaan bangga sempat singgah dalam hati, begitu perhatiannya bangsa Libya terhadap Indonesia, Setidaknya, itulah yang terbersit dalam pikiran penulis. Entahlah, tapi faktanya memang orang-orang Libya sangat respect kalau kita mengaku datang dari Indonesia. "Andunesia miah-miah !", demikian kata mereka. "Indonesia 100 % bagus", kurang lebih begitulah artinya.
Jika lelah setelah jalan cukup jauh, kita dapat istirahat di sebuah ruwaq yang berhadapan langsung dengan masjid raya tersebut. Ruwaq adalah semacam koridor atau ruang lobi yang atapnya menghubungkan dua gedung yang berbeda. Di ruwaq ini disediakan berbagai makanan atau minuman. Mulai dari Swarma (Roti berisi daging ayam), Kebab (roti gulung berisi daging), Sandwich, Cappucino, softdrink, bahkan sisha. Tentu saja dengan harga sangat terjangkau.
Leptis Magna
Perjalanan menelusuri jejak sejarah di Libya masih belum tamat. Kurang lebih 100 km ke arah timur kota Tripoli, puing-puing bangunan menjadi saksi jejak peradaban manusia masa lalu. Lubdah al-Kubra, demikian orang Libya menyebutnya, atau sejarawan dunia mengenalnya dengan nama Leptis Magna. Adalah sebuah kota penting pada zamannya yang menyaingi dua metropolis lainnya di Afrika utara, Carthago (di Tunisia) dan Aleksandria (di Mesir). Pendirian kota Leptis dirintis oleh bangsa Phunisia dari Sidon (nama daerah di Libanon) pada awal abad 7 SM, dan ditaklukan oleh Romawi pada abad 2 SM. Berabad-abad, Leptis Magna telah menjadi trans-perdagangan antara kawasan Sahara dengan kawasan Mediterania. Kejayaan Leptis Magna sebagai metropolis mencapai puncaknya ketika Septimus Severus yang asli berasal dari Leptis Magna menjadi Kaisar Romawi pada tahun 119 s.d. 211 M. Pada masanya wilayah ini dinaikkan statusnya menjadi provinsi otonom Tripolitania.
Berada di kawasan puing-puing Leptis magna, kita akan berdecak kagum membayangkan betapa manusia zaman dahulu begitu perkasa dan jaya membangun sebuah kota. Betapa tidak, selain bahan material bangunan yang terbuat dari batu pualam yang dalam beberapa bagian penuh dengan ukiran, juga karena Leptis Magna merupakan bekas sebuah kota kuno dengan tata kota yang telah sangat diperhitungkan dengan matang, tak kalah sekalipun dibandingkan dengan tata kota modern saat ini. Gedung pemerintah, pasar, tempat ibadat, sekolah, tempat hiburan, taman, MCK umum, pelabuhan, gedung olah raga, pemukiman, bahkan drainase ditata begitu apik.
Memasuki komplek Leptis Magna dimulai dari gerbang Septimius Severus. Gerbang ini berupa gapura kokoh yang terbuat dari batu pualam yang penuh ukiran. Tak jauh dari gapura, terdapat reruntuhan bangunan tempat orang-orang Leptis Magna dahulu belajar. Mereka memiliki study club yang bernama Schola. Istilah tersebut saat ini kemudian bergeser maknanya menjadi tempat belajar; school dalam bahasa Inggris atau sekolah di negeri kita.Tak jauh dari sini, ke arah kanan terdapat reruntuhan gedung bekas komplek pemandian yang dinamakan Hadrianic Bath. Di dalamnya terdapat kolam, ruang toilet, ruang sauna sekaligus ruang proses pemanas air untuk dialirkan ke ruang sauna tersebut. Sungguh begitu tinggi teknologi mereka pada zamannya.
Dari gapura tadi, terdapat jalan lurus tembus ke laut Mediterania sehingga komplek Leptis Magna terbagi dua blok, barat dan timur. Di Blok timur terdapat puing-puing bekas bangunan penting, seperti gedung parlemen, pengadilan, kuil, amphitheatre, komplek pelabuhan, dan stadion olahraga/gladiator. Di blok ini juga terdapat gedung terbesar di Leptis Magna yang dinamakan dengan Severan Forum. Luasnya 160 X 69 m yang didedikasikan Kaisar Romawi Caracalla (212-217 M) untuk memperingati 5 tahun kematian ayahnya Septimus Severus.
Sementara di blok barat merupakan blok pemukiman, gedung theater, pasar, dan taman. Bekas bangunan yang agak relatif utuh adalah amphitheater (stadion yang tempat duduknya curam) di blok timur dan gedung theater di blok barat. Gedung-gedung yang berada di bibir pantai termasuk bangunan-bangunan pelabuhan, saat ini sudah tergerus selama ribuan tahun oleh abrasi. Begitu pula sebagian besar reruntuhan sudah tertimbun oleh pasir yang hijrah dibawa angin dari Sahara.
Sabratha
Kota ketiga dari provinsi Tripolitania adalah Sabratha. Dari Tripoli, kota ini berjarak 65 km atau dapat ditempuh selama 45 menit dengan menggunakan jalur thariq sari' (highway) menuju arah Tunisia. Selama perjalanan, kita dapat menikmati pemandangan perkebunan Zaitun, Tin, Kurma, Jeruk, Peach, Anggur, dan aneka komoditas pertanian lainnya.
Kota Sabratha didirikan oleh bangsa Phunisia sebagai kota pelabuhan pada abad ke-6 SM, lebih dahulu dibanding kota Leptis Magna. Kemudian dikuasai oleh pemerintah Massinissa, sebuah kerajaan Berber yang menguasai wilayah Numidia (sekarang: Aljazair dan Tunisia). Pada abad ke-2 M, kota Sabratha dikuasai oleh kekaisaran Romawi dan disatukan dengan dua kota lainnya, Oea dan Leptis Magna dalam satu provinsi Tripolitania. Pada abad ke-4 (tahun 365 M), tiga kota ini luluh lantak oleh gempa tsunami yang diperkirakan mencapai 8 skala richter. Pada abad ke-7 tepatnya zaman Khalifah Umar ibn Khattab (634 - 644 M), wilayah ini ditaklukan oleh Gubernur Mesir, Amr bin Ash dan menjadi wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam.
Jika melihat luasnya, area Sabratha lebih kecil dibanding dengan luas Leptis Magna. Bagitu pula fasilitas-fasilitas gedung tidak selengkap di Leptis Magna bahkan sebagian besar hampir rata dengan tanah, kecuali gedung theater yang walaupun lebih kecil dibanding yang ada di Leptis, namun relatif masih utuh; bahkan hingga saat ini, masih sering digunakan sebagai arena pertunjukan seni dan budaya baik nasional maupun internasional.
Di sebelah barat gedung theater, terdapat sebuah monumen menjulang tinggi dengan tiga patung singa yang berada di tiga sudut yang menghadap ke berbagai arah. Di bawah monumen ini terdapat kuburan orang-orang Phunisia yang ditaklukan oleh bangsa Romawi. Monumen ini sengaja didirikan sebagai penghinaan terhadap bangsa yang kalah perang pada zamannya sesuai dengan tradisi Romawi.
Di bagian utara dari monumen ini terdapat dua bangunan bekas kuil yaitu Kuil Hercules (manusia setengah dewa anak Zeus) dan Kuil Dewi Isis (Dewa terbesar bangsa Mesir Kuno). Masyarakat di wilayah Romawi pada masa itu termasuk kawasan Tripolitania, memang merupakan mayoritas kaum pagan dan menganut politeisme, yang kemudian berasimilasi dengan ajaran Nasrani dan menjadi agama resmi Negara.
Tempat-tempat wisata sejarah di Libya sebenarnya masih banyak, baik itu peninggalan Romawi maupun Islam. Selain di wilayah Tripolitania, tempat-tempat bersejarah juga dapat ditemukan di wilayah Cyreneica dan Fezzan yang masing-masing berada di kawasan timur dan barat daya Libya. Di Cyreneica kita dapat menyaksikan hal serupa dengan yang ada di Tripolitania, yaitu reruntuhan bangunan bekas kota peninggalan Romawi. Bahkan di wilayah ini terdapat lima kota kembar yang terkenal pada masanya dengan nama Pentapolis yang terdiri atas kota Apollonia, Barce atau Ptolemais, Taucheira, Euesperides atau Berenice (sekarang: Benghazi), dan Cyrene sebagai ibukota. Nama Cyrene juga beberapa kali disebutkan dalam kitab Bible, yang merupakan asal kota Simon yang menolong Yesus ketika di salib.
Sementara di kawasan Fezzan kita masih dapat menyaksikan kota tua suku Berber/ Tuareg (Arab: Thowariq) yang dikenal dengan kota Ghadamis. Tak jauh dari kota ini, kita dapat mengunjungi danau/oase yang berada di tengah-tengah gurun Sahara yang tampak tak berujung. Sejauh mata memandang, hanyalah bukit-bukit pasir halus yang sewaktu-waktu berpindah terhempas oleh angin gurun.
Selain oase atau danau alami, di Libya juga terdapat setidaknya sembilan danau buatan yang luasnya mencapai ratusan hektar di tengah gurun yang gersang. Airnya dipancarkan dari dalam tanah semacam artesis. Dari danau-danau ini, air dialirkan ke berbagai wilayah melalui pipa-pipa raksasa yang berukuran hingga berdiameter 6 m. Hasilnya gurun yang gersang mulai hijau. Inilah megaprojek yang menjadi kebanggaan Libya, sehingga Qaddafi terkenal dengan julukan The Great Man-Made River, pembuat sungai buatan terbesar.
Wisata Kuliner
Di Libya, selain wisata sejarah, kita juga dapat melakukan wisata kuliner. Yang paling terkenal dan tradisional adalah Bordem. Di beberapa restoran khas Libya, Bordem dapat dijumpai dengan mudah. Jika penasaran, kita dapat menyaksikan proses memasak Bordem di perkampungan Libya. Bahan masakan Bordem terbuat dari daging ayam atau kambing. Cara masaknya sederhana, setelah diberi bumbu tradisional, potongan-potongan daging ayam atau kambing dimasukkan ke dalam sebuah bejana besar yang terbuat dari besi atau alumunium. Setelah ditutup rapat, kemudian bejana tersebut dimasukkan ke dalam lubang tanah yang telah digali dan ditimbun dengan bara menyala dan pasir. Setelah enam jam bejana tersebut dibakar, Bordem siap diangkat dan dihidangkan. Rasanya..ehm.. enak, selain empuk, lemak yang ada dalam daging menjadi terpisah dan mengendap di dasar bejana, sehingga tak berbahaya bagi yang punya kolesterol. Bordem biasanya dimakan sebagai lauk dengan Kuskusi, yaitu makanan khas seperti nasi berwarna kuning yang terbuat dari biji gandum.
Masyarakat Indonesia di Libya
Warga Negara Indonesia yang tinggal di Libya tidak terlalu banyak, jumlahnya hanya sekitar 800-an orang selama 2 tahun terakhir dan tersebar di berbagai kota di Libya. Mereka rata-rata bekerja di perusahaan-perusahaan minyak, konstruksi, atau industri; selain juga terdapat sejumlah TKW.
Ada juga mahasiswa yang belajar di kampus Kuliah Dakwah Islamiyah Tripoli yang jumlahnya mencapai 130 orang dengan berbagai strata, mulai S1 sampai dengan S3, dan mendapat beasiswa dari World Islamic Call Society (WICS), sebuah organisasi dakwah milik Libya.
WNI yang tinggal di Libya biasanya berkumpul secara rutin di Kedutaan Besar RI di Tripoli paling tidak seminggu sekali. Mereka melaksanakan shalat jumat dan menikmati hidangan masakan ala Indonesia yang tak mungkin ditemui di restoran-restoran di seantero Libya. Hal ini setidaknya dapat mengobati kerinduan kepada tanah air.
Tripoli, 10 Agustus 2009
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Arab Unpad Bandung dan mahasiswa Pascasarjana Arabic Studies IICC Tripoli - Libya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar