Jumat, 21 Agustus 2009

RUKYATUL HILAL : MENGAWALI DAN MENGAKHIRI RAMADHAN

Muqadimah
Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh rahmat, dan juga bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran. Di bulan Ramadhan, seluruh kaum muslimin diwajibkan untuk melaksanakan shaum. Namun seringkali kaum muslimin berbeda dalam mengawali dan mengakhiri bulan Ramadhan. Kaum muslimin di wilayah Indonesia misalnya, berbeda dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan kaum muslimin di Malaysia, Arab Saudi dll. Hal-hal yang mendasari adalah adanya perbedaan antara hisab dan rukyatul hilal.

Makna Hilal
Hilal adalah bulan sabit yang menjadi acuan pergantian bulan hijriyah. Hilal terbit di ufuk barat setelah tenggelamnya matahari. Hilal ini sangat tipis, sehingga sulit dilihat (bagi yang belum terbiasa melihat) dengan mata telanjang. Hilal akan terlihat 50 di atas ufuk setelah terjadinya ijtima’ (matahari, bumi dan bulan terletak dalam satu garis) yang biasa disebut dengan konjungsi atau bulan mati. Jarak waktu antara peristiwa konjungsi sampai dengan naiknya bulan pada posisi 50 adalah ± 2 jam. Hilal biasanya tidak lama berada di atas ufuk, sehingga orang-orang yang melakukan rukyat itu mengadakan persiapan sebelum matahari terbenam, sehingga dapat segera mengarahkan pandangannya kearah tempat hilal.

Pendapat mengenai Hisab
Bagi kalangan yang mengatakan hisab berpedoman pada hadits Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa pada saat itu Rasul dan para umatnya adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis)

”Sesungguhnya umatku adalah umat yang ummi. tidak dapat membaca, dan tidak dapat berhitung, bulan itu sekian dan sekian (yakni kadang-kadang berumur 29 hari dan kadang-kadang berumur 30 hari)”
(H.R. Imam Bukhari, Muslim, Abi Dawud dan Nasai)


Namun, fakta saat ini adalah kaum muslimin bukan lagi ummat yang ummi (buta huruf). Sehingga seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kaum muslimin sudah dapat menghitung kapan akan terlihatnya hilal, bulan depan atau bahkan ditahun-tahun mendatang.

Pendapat mengenai Rukyatul hilal
Sedangkan kalangan yang berpendapat bahwa memulai dan mengakhiri Ramadhan dengan cara melihat hilal (bulan sabit) berpedoman pada hadits Rasulullah saw.

”Sesungguhnya umatku adalah umat yang ummi. tidak dapat membaca, dan tidak dapat berhitung, bulan itu sekian dan sekian (yakni kadang-kadang berumur 29 hari dan kadang-kadang berumur 30 hari)”
(H.R. Imam Bukhari, Muslim, Abi Dawud dan Nasai)


“Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat hilal dan janganlah kamu berbuka (ber-‘idul fithri) sehingga melihat hilal. Jika hilal tertutup awan atasmu, maka kadarkanlah padanya."
(H.R. Bukhari dan Muslim)


“Shaumlah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup awan atasmu, maka genapkan bilangan sya’ban tiga puluh.”
(H.R Bukhari dan Muslim)


“Shaumlah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup awan atasmu, maka kadarkanlah padanya tiga puluh hari.”
(H.R Bukhari dan Muslim)


Dalam hal rukyatul hilal pun terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa boleh terjadi perbedaan waktu ketika melihat hilal karena perbedaan mathla’ (tempat terlihatnya hilal) sehingga rukyatnya adalah lokal, dan ada yang mengatakan tidak boleh ada perbedaan mathla’ jadi harus dengan rukyat global.

Pendapat mengenai rukyat lokal
Bagi kalangan yang berpendapat mengenai bolehnya terjadi perbedaan mathla’ bahwa mazhab Syafi’i membolehkan terjadi perbedaan awal dan akhir ramadhan sejauh ± 24 farsakh atau ± 120 km. Hal ini berdasarkan pada kisah Abdullah bin Abbas dimasa kekhilafahan Muawiyyah,

Ada seorang Madinah bernama Kuraib, ia pergi ke Syam disuruh oleh seorang wanita bernama Ummul Fadl untuk menemui Muawiyyah di Syam (Sepeninggal Nabi saw dan khulafaur Rasyidin, pusat pemerintahan berpindah ke Syam). Waktu Kuraib berada di Syam terjadilah rukyatul hilal awal Ramadhan dan oleh khalifah malam itu diberlakukan sebagai awal Ramadhan, malam itu adalah malam jum’at. Sedangkan di Madinah permulaan Ramadhan jatuh pada malam sabtu, jadi berbeda satu hari. Saat itu belum ada alat penghubung yang cepat, yang ada hanya kuda dan unta yang jika menghubungkan berita antara Syam dan Madinah membutuhkan waktu berhari-hari. Pada akhir Ramadhan Kuraib sudah berada di Madinah dan bertemu dengan Abdullah bin Abbas seorang ’alim besar yang tidak asing lagi dikalangan para ’ulama. Kuraib menceritakan tentang awal Shaum Ramadhan di Syam yang seharusnya setelah genap 30 hari dari permulaan puasa di Syam hari Jum’at tersebut semua orang harus beridul fitri, termasuk orang-orang Madinah. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya : “Kapan kamu melihat hilal?” Kuraib menjawab: “Malam Jum’at”. Abdullah bertanya lagi: “Kamu melihat sendiri?” Kuraib menjawab: “Ya, dan orang-orang banyak melihatnya, mereka melakukan puasa dan juga Muawiyyah berpuasa”. Lalu Abdullah bin Abbas berkata : “ Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami akan menyempurnakan bilangan puasa 30 hari atau 29 hari bila kami melihat hilal.” Lalu Kuraib bertanya: “Apa tidak cukup rukyatnya dan puasanya Muawiyyah kita pakai sebagai pedoman?” Abdullah bin Abbas menjawab: “Tidak... demikian itulah Rasulullah saw memerintahkan kepada kita.”

Pendapat mengenai rukyat global
Bagi kalangan yang berpendapat rukyat global adalah bahwa teks dari hadits-hadits di atas dari kata ﺼوﻤوﺍ bermakna shaumlah dan ﺃﻔﻄﺮوﺍ bermakna berbukalah (ber’idul fitrilah) merupakan perintah yang bersifat umum dan tidak kepada salah satu wilayah saja.

Kondisi saat ini
Seperti menjadi sebuah kebiasaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan selalu ada perbedaan. Ada yang berpendapat dengan hisab, ada yang rukyat lokal dan ada yang rukyat global. Beberapa faktor yang bisa kita bahas disini adalah:
  • Pertama, Kemajuan manusia dalam hal IPTEK bukan berarti menghilangkan metode rukyat dan hanya mengutamakan hisab. Justru yang seharusnya dilakukan adalah hasil dari hisab dipergunakan dalam membantu kapan waktu untuk merukyat, misal : hasil hisab mengenai terjadinya gerhana bulan beberapa waktu yang lalu, selalu dipergunakan dalam membantu rukyat, yang kemudian rukyat tetap dilaksanakan untuk membuktikan kebenaran terjadinya proses gerhana tersebut.

  • Kedua, Bulan itu satu, dan dia mengelilingi (berevolusi) bumi, jadi bisa saja satu atau lebih bagian bumi dapat melihat hilal namun kaum muslimin yang dapat melihat hilal harus menginformasikan kepada kaum muslimin di wilayah lain.

  • “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa” (H.R Abi Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)


    “Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: sungguh saya telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Badwi menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Bilal, beritahulah orang-orang supaya mereka berpuasa.”
    (H.R Abi Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)


    “Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal, maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).” (H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)

  • Ketiga, Jarak waktu terjauh di bumi maksimum adalah hanya 12 jam bukan lebih dari 24 jam sehingga jika ada muslim melihat hilal kemudian dia menginformasikan kepada kaum muslimin yang lain yang notabene sudah malam hari, namun masih dalam satu waktu.

  • Keempat, Mazhab Syafi’i membolehkan berbeda mathla’ berdasarkan dari hasil ijtihad Abdullah bin Abbas, namun riwayat tersebut hanya sampai disitu saja, tidak dijelaskan bagaimana sikap dari seorang khalifah Muawiyyah pada saat itu, apakah mendiamkan saja atau menegur Abdullah bin Abbas. Jika ada sambungan dari riwayat tersebut, maka sambungan riwayat itu dapat menguatkan rukyat lokal.

  • Kelima, Kaum muslimin di Indonesia dalam memulai dan mengakhiri Ramadhan dengan cara rukyat lokal menganggap berdasarkan dalil tersebut, jika kita tilik lebih dalam lagi bahwa Mazhab Syafi’i membolehkan kaum muslimin di Jakarta dan Bandung boleh berbeda waktu. Begitu juga kaum muslimin di pulau kalimantan, antara kaum muslimin di Indonesia dengan Malaysia dan Brunei boleh berbeda waktu karena jarak lebih dari 24 farsakh atau lebih dari 120 km, namun pada saat yang bersamaan kaum muslimin Indonesia di pulau kalimantan bersamaan memulai dan mengakhiri Ramadhan dengan kaum muslimin Indonesia di pulau Papua. Dengan demikian jelas bahwa yang dipergunakan dalam memulai dan mengakhiri Ramadhan di Indonesia dan negeri-negeri muslim yang lain adalah bukan berdasarkan dalil melainkan pada kesatuan nasionalisme yang lemah.


  • Dampak perbedaan awal dan akhir Ramadhan
    Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan memiliki dampak yang sangat besar, yaitu :
    1. Dalam mengawali ramadhan jika sudah terlihat hilal, bagi yang sudah mendapat informasi hilal namun dia tidak melaksanakan puasa maka dia telah berdosa meninggalkan ibadah puasa.

    2. Dalam mengakhiri Ramadhan jika sudah terlihat hilal, bagi yang sudah mendapat informasi hilal namun dia tidak berbuka (idul fitri) maka puasanya menjadi haram dan zakat fitrah yang belum disalurkan hingga hari itu akan menjadi shadaqah bukan lagi zakat fitrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar